Site icon Kantor Berita Kalimantan

Revisi Kedua UU ITE Masih Mengancam Kebebasan Pers

KBK.NEWS, JAKARTA – Dewan Pers menyatakan hasil revisi UU ITE Nomor 11 Tahun 2008 yang disahkan DPR RI dan Pemerintah pada Tanggal 6 Desember 2023 lalu masih mengancam kebebasan pers.

Dalam rilisnya Dewan Pers menegaskan, bahwa revisi kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang disetujui bersama DPR RI dan Pemerintah untuk disahkan menjadi UU masih berpotensi mengancam kemerdekaan pers dan kemerdekaan berekspresi masyarakat.

Revisi kedua atas UU tersebut dinilai masih tidak memberikan perubahan signifikan terhadap pasal-pasal yang selama ini menjadi ancaman kemerdekaan pers. Pasal-pasal yang
dimaksud antara lain, Pasal 27A mengenai distribusi atau transmisi informasi atau dokumen elektronik yang memiliki muatan tuduhan/fitnah dan/atau pencemaran nama baik.

Kemudian, ancaman lainnya datang dari Pasal 28 ayat (1) dan (2) yang
mengancam pelaku penyebaran pemberitahuan bohong dan SARA untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan. Setiap orang yangmelanggar pasal-pasal itu bisa
dihukum penjara enam tahun dan atau denda Rp1miliar. Pasal-pasal yang mengatur soal penyebaran kebencian dan penghinaan tersebut mengingatkan pada haatzaai artikelen dalam KUHP.

Pasal-pasal karet produk kolonial tersebut bahkan dikuatkan dengan KUHP baru sebagai produk hukum nasional, yang sebenarnya sudah
tidak boleh diberlakukan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi. Pasal 27A, Pasal 27B dan Pasal 28 ayat (1).

Pada revisi kedua atas UU ITE berpotensi mengebiri pers karena karya jurnalistik yang didistribusikan menggunakan sarana teknologi dan informasi elektronik (di internet) terkait dengan kasus-kasus korupsi, manipulasi, dan sengketa, dapat dinilai oleh pihak tertentu sebagai penyebaran pencemaran atau kebencian. Dengan ancaman hukuman penjara lebih dari enam tahun, aparat kepolisian dapat menahan setiap orang selama 120 hari, termasuk wartawan, atas dasar tuduhan melakukan penyebaran berita bohong
seperti diatur dalam revisi kedua atas UU ITE ini.

Pasal-pasal itu secara tidak
langsung dapat disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk membungkam pers, yang pada akhirnya akan menciderai upaya mewujudkan negara demokratis.

Dewan Pers menilai pasal-pasal UU ITE tidak dapat digunakan terhadap produk pers sebagai karya jurnalistik yang sudah tegas dan jelas diatur dalam UUNomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Sedangkan implementasi UU ITE sudah diatur dalam Pedoman Implementasi Undang-Undang ITE Nomor 229 Tahun 2021 berdasarkan Keputusan Bersama Menkominfo, Jaksa Agung dan Kapolri.

Pedoman tersebut menegaskan bahwa “untuk pemberitaan di internet yang dilakukan institusi pers, yang merupakan kerja jurnalistik yang sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Hal itu diberlakukan mekanisme sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers Sebagai lex spesialis bukan UU ITE.

Untuk kasus terkait pers perlu melibatkan Dewan Pers”. Namun demikian, Pedoman No. 229/2021 akan menemui tantangan berat, karena norma hukum yang memayunginya justru membuka celah penafsiran yang membelenggu kemerdekaan pers.

Sementara itu, dalam proses legislasi revisi kedua UU ITE, Dewan Pers menilai tidak ada transparansi dan keterbukaan untuk melibatkan partisipasi publik secara luas, terutama untuk mendengarkan berbagai masukan dari stakeholder yang berpotensi terdampak.

Hal itu menunjukkan ketidakseriusan lembaga eksekutif dan legislatif untuk menjalankan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang telah diubah menjadi UU Nomor 13 Tahun 2022. Bahkan, naskah revisi kedua atas UU ITE yang baru disahkan oleh DPR dan Pemerintah juga sulit diperoleh. Oleh karena itu, Dewan Pers mengajak masyarakat dan seluruh komunitaspers untuk bergerak mengkritisi revisi kedua atas UU ITE tersebut.

Dewan Pers juga menyerukan segenap komunitas pers pada khususnya dan berbagai pihak yang potensial terdampak pada umumnya untuk
mengambil langkah konkret bersama sama mencegah terjadinya kriminalisasi pers yang disebabkan oleh UU ITE atau UU lainnya yang masih mengancam kemerdekaan pers.

Exit mobile version